Pembantaian di Kampung Halaman Sang Buddha Gautama
Bab 1. Menanam bibit peperangan
India jaman dulu adalah sebuah negara dengan banyak kerajaan, dan sering terjadi peperangan diantara mereka. Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, Hukum Karma pasti berlaku baik bagi seorang individu atau bagi suatu bangsa. Semua orang seharusnya memperlakukan warga negara dari negara lain dengan layak dan terhormat.
Berdasarkan catatan sejarah, kampung halaman Buddha Gautama adalah Kapilavastu, yang bertetangga dengan Kerajaan Kosala dengan rajanya Prasenajit ( Pasenadi dalam bahasa Pali ). Dua kerajaan ini telah mengalami banyak konflik dari generasi ke generasi.
Sebelum Sang Buddha Gautama mencapai Penerangan Sempurna, Raja Prasenajit mengirimkan utusan ke Suku Sakya ( penduduk Kapilavastu ) untuk meminang salah satu putri kerajaan Kapilavastu. Tapi suku Sakya menganggap dirinya lebih tinggi dari suku Kosala dan menolak mengirimkan salah satu putri kerajaannya. Raja Prasenajit adalah raja yang kuat dengan kekuatan militer yang tangguh, maka untuk menghindari pertumpahan darah jenderal suku Sakya Mahanama mengutarakan pendapatnya ke Raja Suddhodana, ayah Buddha Gautama.
“Saya punya ide Paduka, Kosala adalah negara yang kuat secara militer dan politik. Jika kita berkonflik dengan mereka, kita mungkin tidak bisa menandinginya. Saya memiliki seorang budak yang cantik dan atraktif. Kita bisa menipu mereka dengan mengatakan bahwa perempuan itu adalah putri saya dan dan mengirimnya sebagai pengantin putri kerajaan Kapilavastu”.
Pada Jaman itu pernikahan diantara dua kelas sosial yang berbeda (seperti diantara pengeran dan pekerja) merupakan hal yang tidak lazim. Sang Buddha tidak setuju karena hal ini merupakan tindakan curang yang tidak terpuji, dan berkata adalah tidak pantas memperlakukan bangsa lain dengan kebohongan. Tetapi tidak seorang pun yang mendengarkannya, kemudian budak perempuan (Vāsavakhattiyā) dari Kapilavastu itu diserahkan ke raja Prasenajit untuk menjadi Ratu Kerajaan Kosala.
Bab 2. Penghinaan yang menjadi permasalahan internasional
Raja dan Ratu Kosala kemudian memiliki seorang putra yang bernama Pangeran Virudhaka (batu yang berharga). Pasangan raja dan ratu tersebut menjadi pengikut Buddha. Ketika Pangeran Virudhaka berusia 8 tahun, dia kirim ke Kapilavastu untuk belajar persenjataan khususnya panah.
Sepuluh tahun setelah Buddha Gautama mencapai Penerangan Sempurna, beliau berkunjung ke tanah kelahirannya untuk bertemu dengan keluarga beliau. Suku Sakya sangat bergembira, untuk nyambut kedatangan Buddha Gautama mereka membangun panggung yang besar dan megah dihiasi dengan ukir-ukiran dan wewangian dupa. Pekerja kemudian meletakkan altar suci untuk tempat kotbah Buddha Gautama.
Pangeran Virudhaka masih kanak-kanak waktu itu, dia bermain-main di jalanan kota dengan teman-teman sekolahnya dan kemudian bermain di panggung besar itu. Ketika prajurit-prajurit suku Sakya melihatnya bermain-main di panggung tempat altar suci, komandan prajurit sangat marah – keturunan budak seharusnya tidak berada dalam bangunan kerajaan dan berbaur dengan kasta tinggi Brahmana. Dia memerintahkan para parajurit untuk mengusir keluar pangeran kecil Virudhaka dan meminta para pekerja melapisi dan mencat ulang semua area yang disentuh oleh manusia kelas rendah semacam pangeran Virudhaka. Diyakini bahwa area telah dikotori dan harus dilapisi ulang dengan tanah yang segar atau cat yang baru.
Pangeran Virudhaka sangat marah setelah mengetahui “semuanya” kemudian bersumpah “Saat aku menjadi Raja Kolasa, Aku akan balas dendam kepada suku Sakya”. Ketika Buddha Gautama mengetahui kejadiaan tersebut, Beliau mengetahui bahwa takdir dari negaranya telah ditentukan, karena orang-orang suku Sakya telah melanggar aturan Internasional kala itu.
Bab 3. Usaha Buddha Gautama menghentikan peperangan.
Setelah Raja Suddhodana (ayah Buddha Gautama) wafat, Jenderal Mahanama menjadi Raja Kapilavastu. Beberapa tahun telah berlalu dan dua negara hidup berdampingan dengan damai karena Raja dan Ratu Kosala beserta Putra Mahkota Jeta adalah pengikut Buddha Gautama. Tetapi dunia adalah tempat yang fana, damai kemudian berakhir ketika Raja dan Ratu Prasenajit pergi keluar istana untuk melakukan inspeksi suatu keperluan. Pangeran Virudhaka melakukan kudeta militer, menggulingkan kekuasaan Raja dan membunuh saudara tirinya putra mahkota Jeta.
Dalam kebingungan Raja Prasenajit dan Ratu “budak” nya melarikan diri ke Kapilavastu meminta suaka politik. Segera setelah itu Raja Prasenajit yang saat itu berusia 80 tahun meninggal karena sakit. Versi lain menceritakan bahwa Raja dan Ratu melarikan diri ke Kerajaan Magadha, meminta bantuan Ajatashatru untuk memulihkan kekuasaannya, tetapi sebelum sempat bertemu dengan Raja Ajatashatru Raja Prasenajit wafat.
Sementara itu Pangeran Virudhaka , memegang kekuasaan penuh dan mengumumkan bahwa dia adalah raja dari Kosala dan menyatakan perang terhadap Kapilavastu.
Ketika Buddha Gautama mengerti tentang konflik yang segera akan terjadi, Beliau berusaha untuk menghentikan laju pasukan Kosalan dengan bermeditasi dibawah pohon mati dan menghadap ke arah datangnya pasukkan Raja Virudhaka .
Meskipun Raja Virudhaka sama sekali tidak suka dengan Buddha Gautama, tetapi dia menghentikan kereta kudanya dan bertanya kepada Buddha “Anda seharusnya bermeditasi di bawah pohon Bodhi, bukannya di bawah pohon mati.
“Anda benar, “ jawab Buddha “tetapi apalah gunanya Pohon Bodhi tanpa cinta kasih dan perdamaian?”
Adalah hal yang lumrah di India pada saat itu bahwa jika dalam perjalannya pasukan bersenjata berjumpa secara kebetulan dengan seorang pertapa suci, pasukan tersebut harus mundur kembali. Dan saat itu pasukkan Raja Virudhaka bertemu dengan Buddha Gautama. Dikarenakan mengikuti aturan internasional kala itu, Raja Virudhaka memerintahkan pasukkannya untuk kembali pulang.
Segera setelah itu Raja Virudhaka melakukan serangan ke dua dan ke tiga, setiap kali itu dia bertemu Buddha duduk dibawah pohon mati menghadang pasukannya. Jadi sesuai dengan aturan internasinal India kuno, pasukan Kasolan kembali pulang.
Setelah terjadi sebanyak empat kali, kali yang ke-empat Buddha Gautama tidak berada di tempat itu, dan pasukan Raja Virudhaka maju menyerbu ke Kapilavastu.
Bab 4. Kegagalan kekuatan mistik Maha Maudgalyana
“Yang Mulia Buddha” kata Ananda, suatu hari di biara, “Mengapa Anda nampak begitu sedih ?”. “Orang-orang suku Sakya akan dibantai minggu ini” dengan sedih Sang Buddha menjawab. Mereka telah melanggar aturan internasional dan telah menghina seorang pangeran dari kerajaan tetangga. Mereka tidak pernah merasa bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan dan juga tidak pernah meminta maaf atas kesalahan mereka. Tidak perduli siapa leluhur mereka, seorang manusia harus diperlakukan dengan terhormat. Karena itu, karma orang-orang suku Sakya telah matang dan tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk menolong mereka.
“Tetapi, itu adalah tanah air saya” protes Maha Maudgalyana, salah seorang siswa senior Buddha Gautama. “Saya akan melakukan apapun untuk menolong Kapilavastu”
“Ini merupakan dosa mereka, dan tidak ada seorangpun yang bisa lepas dari hukum karma” kata Buddha. “Jika mereka tidak mengaku bahwa mereka bersalah, tidak seorangpun bisa menolong mereka!”
Kerjaan Kapilavastu telah terkepung oleh pasukan Kasolan sekarang. Maha Maudgalyayana yang memiliki kekuatan mistik, terbang ke dalam kota dan mengambil 500 orang Sakya dan meletakkannya ke dalam mangkuk pindapata. Kemudian dia membawa pergi mangkuk itu, terbang ke tempat yang aman. Tetapi ketika dia membuka mangkuknya dan melihat kedalam mangkuk, ternyata tidak ada seorangpun didalamnya, yang dia dapatkan hanyalah semangkuk darah. Sekarang dia mengerti bahwa hukum karma adalah hukum tertingginya alam semesta, dan tidak seorangpun bisa berada diatas dan mengatasinya.
Bab 5. Pembantaian
Setelah beberapa hari peperangan, Jenderal Mahanama menyerah, pada jaman itu “menyerah” juga berarti mati dan Raja Virudhaka segera memberi perintah untuk melakukan pembantaian semua 30.000 orang suku Sakya.
“Apapun yang terjadi” kata Jenderal Mahanama kepada Raja Virudhaka, “Anda adalah masih cucu adopsi saya, Saya memiliki sebuah permintaan terakhir”
“Apa permintaan itu ?”
“Mudah untuk membunuh banyak orang Sakya, Saya memohon kepadamu untuk melepaskan sejumlah orang, Saya akan menenggelamkan diri ke dalam sungai sementara itu tolong Anda biarkan orang-orang Sakya melarikan diri. Ketika saya muncul ke permukaan air untuk pertama kalinya, Anda bisa memulai pembunuhan” kata Jenderal Mahanama.
“Baik, “ kata Raja Virudhaka sambil tertawa. “Saya ingin tahu seberapa lama kamu dapat bertahan dalam air”
Kemudian orang-orang Sakya mulai melarikan diri, dan Raja Virudhaka tertawa kencang menertawakan musuhnya, dia berpikir adalah hal yang mengelikan melihat mereka lari tungang langgang bersamaan. Tetapi ketika sebagian besar orang Sakya telah melarikan diri, Raja Virudhaka menjadi curiga, “Bagaimana seorang Jenderal Mahanama dapat berada dalam air begitu lama? Dia mengirim tentaranya untuk mengecek hal ini.
“Yang Mulia, ” kata prajurit setelah melakukan investigasi “Jenderal Mahanama telah meninggal dunia. Dia menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan orang-orang suku Sakya”.
Bab 6. Akhir yang tragis
Itulah Raja Virudhaka, anak dari pengikut taat Buddha Gautama, membunuh keluarga Buddha Gautama, membantai suku Sakya. Tapi singkat setelah kemenangnya, kebakaran terjadi dalam istananya. Apakah itu merupakan suatu kecelakaan atau dilakukan sengaja oleh musuh-musuhnya, tidak seorangpun yang tahu. Tetapi sepertinya tidak seorang pun mempedulikan apakah dia dan Ratu nya terbunuh dalam kebakaran tersebut.
Akhirnya, pengikut Buddha Gautama lainnya, Raja Ajatasatru, mengkonsolidasikan kedua kerajaan tersebut (Kapilavastu dan Kosala) kedalam kerajaan Rajagrha
0 komentar:
Posting Komentar