XIAN REN GU PO 仙人姑婆
Xian Ren Gu Po dipuja orang disebuah kelenteng di Karawang, Jawa Barat .
Tentang siapa seseungguhnya Dewi ini, tidak ada keterangan yang jelas. Hanya ada beberapa cerita dari buku di kelenteng Karawang, juga tidak diketahui kenapa rupang di altarnya hanya berbentuk kursi.
Hanya disebutkan bahwa dia berasal dari suku Hakka, mempunyai nama keluarga Guo ( Kwee - Hokkian ) Ia ikut ibu mertua, sementara suaminya pergi berlayar.Suatu hari sang suami mengalami musibah dan meninggal ditelan gelombang. Karena kesedihannya, si ,gadis menangis terus menerus dan akhirnya meninggal, konon arwahnya sering muncul dan menolong pedagang - pedagang yang sedang menghadapi bahaya di laut.
Zhōnghuá guō gūpó |
Makamnya yang berada ditepi sungai lalu banyak dikunjungi orang untuk mengucapkan terima kasih, dan kemudian di dekatnya didirikan sebuah kelenteng, mereka menyebutnya Xian Ren Gu Po ( Sian Jin Kou Po - Hokkian ). Xian - ren adalah dewa. sedang Gu-po berarti nenek atau uwa. Cerita diatas mirip sekali dengan sebutan Zhōnghuá guō gūpó 中华郭姑婆.
Beberapa pedagang yang bermarga Xu ( Khouw ) Zhang ( Thio ) Chen ( Tan ) dan Lin (Lim), yang berangkat dari Tai-pu, propinsi Guang dong menuju ke Nan-yang ( sebutan untuk Asia Tenggara ), dengan membawa patung Dewi ini.
Dalam perjalanan berkat perlindungannya mereka selamat dari amukan gelombang ganas di Lautan Tiongkok - Selatan.
Akhirnya mereka sampai di Jawa Barat setelah lebih dulu mampir di Bagan Siapi-api.
Mereka memilih Karawang sebagai tempat menetap, dan mendirikan kelenteng di daerah Tanjungpura, yang ada sampai sekarang, Xian Ren Gu Po di peringati pada tanggal 13 bulan 7 Imlek.
Mereka memilih Karawang sebagai tempat menetap, dan mendirikan kelenteng di daerah Tanjungpura, yang ada sampai sekarang, Xian Ren Gu Po di peringati pada tanggal 13 bulan 7 Imlek.
Sekilas Riwayat Abu/Hiolo Sian Djin Ku Poh
Diceritakan pada abad ke 17-18 Masehi di Negeri Tiongkok terdapat tiga keluarga yang bermarga Lauw, Tjiong/Chang dan Khouw. Mereka tinggal di Siaw Liu Cun Jen kampung yang bernama Ta Pu-Ta Ma di Provinsi Kwan Tung/Canton, suatu tempat di Tiongkok Selatan yang berseberangan dengan Pulau Formosa atau sekarang disebut Taiwan. Ketiga marga tersebut adalah pengusaha/pedagang di bidang hasil bumi/rempah-rempah, yang mencari dan memasarkan dagangannya dengan cara berlayar bersama-sama menggunakan kapal milik mereka dari satu tempat ke tempat lainnya, menyusuri Sungai Kuning/Sungai Huang Ho, yang merupakan sungai terpanjang kedua di Tiongkok sampai ke pelosok di pesisir Laut China Selatan.
Pada suatu hari seperti biasanya ketiga marga tersebut berangkat dari kampungnya untuk berlayar menyusuri Sungai Huang Ho di Tiongkok Selatan menuju ke tempat-tempat di seberang lautan untuk mencari rempah-rempah. Ketika melewati area hutan jati yang berada di sisi Sungai Huang Ho, mereka bertemu dengan seorang gadis kecil berusia antara 7-8 tahun yang sedang bermain sendirian di tepi sungai. Dan saat kapal mereka berlayar tepat di depan gadis kecil tersebut bermain, gadis kecil itu menyapa mereka dan memberitahukan untuk tidak melanjutkan pelayarannya ke lautan, karena sebentar lagi akan ada badai di lautan yang akan mereka tuju.
Namun, ternyata keluarga ketiga marga tersebut sama sekali tidak menghiraukan peringatan dari gadis kecil dan tetap melanjutkan pelayarannya. Menurut mereka berlayar di wilayah tersebut sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari sejak dahulu, dan juga sudah mengenal dengan baik perubahan cuaca di lokasi tersebut, apalagi yang memberi peringatan hanya gadis kecil.
Ketika kapal mereka sedang melanjutkan pelayarannya dan keluar dari muara Sungai Huang Ho menuju lautan luas, baru masuk ke lautan sejarak 2 sampai 3 km, tiba-tiba langit menjadi gelap yang sepertinya akan segera turun hujan lebat. Tak lama kemudian memang benar terjadi hujan lebat disertai topan/badai di lautan yang kejadiannya persis seperti yang tadi diperingatkan oleh gadis kecil. Maka terjadilah kepanikan di kapal milik ketiga marga tersebut. Hujan badai membuat kapal menjadi oleng dan terombang-ambing di tengah lautan terhempas angin kencang, dan sepertinya ombak ganas hendak ‘menelan’ kapal tersebut.
Beberapa saat kemudian setelah badai reda dan lautan kembali tenang, para awak kapal memeriksa kondisi para penumpang dan kondisi kapalnya. Namun apa yang terjadi? Ada sebuah keajaiban! Akibat dari badai yang begitu dasyat ternyata semua awak kapal dan penumpangnya selamat, dan kondisi kapal hanya mengalami kerusakan kecil yang tidak berarti.
Pelayaran kemudian dilanjutkan kembali. Dalam perjalanan itulah keluarga ketiga marga ini mulai membicarakan hubungan antara badai dasyat yang baru saja dialami dengan peringatan oleh gadis kecil yang ditemui sebelumnya di hutan Jati, dan keajaiban yang terjadi dimana menurut pengalaman dan perkiraan mereka, seharusnya akibat badai yang begitu dasyat sulit untuk bisa selamat, tetapi sepertinya ada yang melindungi mereka pada saat badai terjadi.
Selang beberapa hari kemudian seperti biasanya keluarga ketiga marga ini kembali berlayar bersama untuk mencari rempah-rempah. Dan pada saat berlayar melewati hutan jati, ketiga marga ini sepakat untuk merapatkan kapalnya di pinggir hutan tersebut dengan tujuan hendak menemui gadis kecil tersebut. Namun setelah dicari-cari gadis kecil itu tidak ditemui. Berhubung tekad mereka untuk menemuinya begitu besar, maka disepakati untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di tempat itu. Ternyata setelah ditunggu selama 2-3 hari gadis kecil itu tidak tampak juga, akhirnya mereka melanjutkan pelayaran dengan perasaan penuh kecewa.
Waktu berjalan terus dan keluarga ketiga marga ini pun tetap melanjutkan aktifitas berlayarnya tanpa adanya gangguan. Sampai pada suatu hari seperti biasanya saat melewati hutan jati, mereka melihat dari kejauhan tampak seperti sosok gadis kecil yang sedang asyik bermain batu kerikil sendirian di tepi sungai. Akhirnya diputuskan untuk merapatkan kapal di tepi sungai, dan dengan perasaan gembira mereka menghampiri gadis kecil tersebut. Namun kali ini gadis kecil itu tidak menyapa mereka seperti sebelumnya, melainkan tetap asyik melanjutkan permainan batu kerikilnya seolah-olah tidak ada orang yang datang.
Menyadari bahwa gadis kecil itu ada dihadapannya bukanlah bocah biasa, mereka tidak berani mengganggunya. Setelah menunggu beberapa lama akhirnya mereka memutuskan mendekati bocah itu untuk menyapanya, dan ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan mereka pada pelayaran sebelumnya, serta menanyakan tentang keselamatan dalam pelayaran kali ini dan peruntungan usaha mereka. Setelah ditunggu beberapa saat akhirnya gadis kecil itu menjawab pertanyaan mereka, “Pelayaran akan selamat dan usaha akan untung,” kemudian gadis kecil itu kembali melanjutkan bermain batu kerikilnya.
Kemudian kapal kembali melanjutkan pelayarannya, dan sesuai seperti yang diucapkan oleh gadis kecil itu, cuaca sangat bersahabat dan kondisi ombak tenang. Bahkan terjadi mukjizat lagi, yaitu dagangan mereka semua habis terjual dengan keuntungan yang besar. Pelayaran yang biasanya memerlukan waktu sekitar dua minggu untuk menunggu dagangan habis terjual, kali ini dalam waktu kurang dari satu minggu mereka sudah bisa kembali ke rumah masing-masing.
Setelah beberapa kali mengalami mukjizat, bahwa apa yang diucapkan gadis kecil itu terbukti benar adanya, maka mereka semakin yakin bahwa gadis kecil itu memang bukan bocah biasa. Dalam pelayaran pulang mereka memutuskan untuk kembali ke hutan jati untuk menemui gadis kecil itu. Sebagai ungkapan terima kasih, mereka membawa oleh-oleh berupa mainan boneka, ranjang kecil, cermin dan sepatu.
Namun setelah ditunggu berapa lama, gadis kecil itu tidak muncul juga. Akhirnya mereka bersepakat mendarat dan masuk ke dalam hutan jati itu untuk mencari kampung atau tempat hunian kemungkinan gadis kecil ini tinggal bersama keluarganya. Setelah mereka masuk ke hutan jati sambil memanggil-manggil gadis kecil itu, ternyata di hutan ini tidak ditemukan adanya rumah/kampung. Akhirnya mereka kembali menuju ke kapal setelah sebelumnya diputuskan untuk menggantungkan oleh-oleh yang mereka bawa disebuah pohon jati, sambil memanjatkan doa semoga oleh-oleh berupa mainan ini diterima.
Waktu berjalan terus, demikian pula pelayaran ketiga marga tersebut untuk mencari dan berjualan rempah-rempah terus berjalan. Sampai pada suatu ketika dalam pelayaran pulang, kapal ketiga marga ini seperti biasa kembali melewati hutan jati, dan pada saat itu mereka memutuskan untuk mendarat kembali di hutan jati dengan harapan menemukan si gadis kecil. Namun ketika mereka masuk ke dalam hutan, mereka tidak menemukannya, dan ketika diperiksa oleh-oleh mainan yang mereka gantungkan di pohon jati beberapa waktu yang lalu sudah tidak ada ditempatnya. Akhirnya ketiga marga ini kembali ke kapal untuk melanjutkan pelayaran, mereka bersepakat bahwa setiap kali berlayar dan saat melewati hutan jati ini, mereka akan selalu singgah dan berdoa supaya pelayarannya selamat dan usahanya lancar.
Kebiasaan singgah di hutan jati terus mereka lakukan, namun di dalam hati mereka ada suatu rasa penasaran, karena sampai saat ini belum mengetahui asal muasal dari nama gadis kecil tersebut. Hingga pada suatu ketika dalam pelayaran pulang ke kampungnya, terjadi satu keanehan yaitu pada kotak penyimpanan rempah-rempah didalam kapal terdengar bunyi seperti batu kerikil sungai yang menggelinding, tetapi saat kotak tersebut di buka tidak ditemukan apa-apa. Keluarga ketiga marga ini bertanya-tanya apakah kejadian ini ada hubungannya dengan gadis kecil yang pernah beberapa kali menolongnya. Akhirnya keluarga ini melakukan upacara sembahyang memohon petunjuk.
Setelah upacara sembahyang selesai, pada suatu malam salah satu dari keluarga ini yang bernama Khouw bermimpi bertemu dengan seorang gadis kecil, wujudnya seperti yang ditemuinya di hutan jati itu. Gadis kecil itu mengaku bernama Ku (versi lain menyebut bermarga Kwee – mandarin : Kwok), dari suku Hokkian (versi lain menyebut suku Khe). Dalam mimpi gadis kecil itu mengatakan bahwa Ia akan selalu mendampingi dan melindungi dalam pelayaran ketiga marga ini.
Setelah mendapat petunjuk lewat mimpi yang dialaminya, dan diyakini bahwa gadis kecil itu selalu mendampingi setiap pelayaran, mereka bersepakat untuk membuat sebuah Hio Lou dari batu gunung berwarna hitam yang kiri-kanan atasnya diberi tonjolan batu yang berbentuk kepala kura-kura. Hio Lou inilah yang sekarang berada di altar Kelenteng/Vihara Sian Dji Ku Poh – Tanjungpura, Karawang, Indonesia.
Setelah pembuatan Hio Lou selesai kemudian diletakkan di dalam perahu. Pada pagi dan malam hari mereka selalu pasang hio meminta keselamatan dan kelancaran usahanya. Konon keluarga ketiga marga ini sering melihat wujud seorang gadis kecil atau kadang-kadang dalam wujud seorang nenek tua diatas kapal mereka, terutama pada saat pelayaran mereka dalam bahaya. Sebagai rasa hormat, mereka kemudian memanggilnya Ku Poh yang dalam dialek mandarin artinya Nenek Ku. Berhubung mereka telah mengalami beberapa kali mukzijat, maka mereka memanggilnya Sian Djin Ku Poh, yang arti harpiahnya adalah Nenek Ku yang telah mencapai tingkat kedewaan, jadi apabila hendak disingkat pengucapannya yang benar adalah Ku Poh atau Emma.
Perlu disampaikan bahwa sesuai tradisi orang Tionghwa yang dipengaruhi ajaran Confucisme, mereka sangat menghormati orang yang lebih senior/tua, maka panggilan kepada Sin Beng ini adalah Sian Djin Ku Poh, mengacu pada perwujudan sebagai nenek tua. Ku Poh sendiri adalah nenek yang pada masa hidupnya di negeri Tiongkok suka menolong sesamanya. Versi lain menyatakan bahwa Sian Djin Ku Poh adalah titisan dari Dewa/Dewi sebelumnya yang memiliki kesaktian yang tinggi, untuk itulah kita tidak tahu asal usul dan nama lengkapnya.
(dikutip dari buku “Sekilas Sejarah Vihara/Kelenteng Sian DJin Ku Poh” Oleh : Ir. Windy Hanjaya)
0 komentar:
Posting Komentar