Markus Tan Membual Atau Orang Tionghoa Menyembah Arwah?
Benarkah bangsa Tionghoa adalah penyembah arwah leluhur? Bila sesajen tidak cukup maka arwah leluhur akan marah dan menjatuhkan malapetaka kepada anak cucunya? Arwah leluhur akan membalas setiap sesajen yang mereka terima dengan menurunkan rejeki yang berlimpah? Semakin banyak sesajen disajikan, semakin banyak rejeki yang diterima? Itu sebabnya orang Tionghoa jor-joran menyajikan sesajen bagi arwah leluhurnya?
Memberanikan diri bertanya; Dalam bukunya yang berjudul Imlek & Alkitab, Pdt. Markus Tan menulis:
Keadaan hati yang baik dari langit ditentukan atau tergantung dari sesajen (korban, persembahan) dari penghuni bumi. Bila penduduk atau penghuni bumi lalai, lupa memberi sesajen maka langit akan marah dan bencana akan terjadi di bumi. Imlek & Alkitab hal 2
Hubungan antara langit dan bumi ditentukan oleh kebutuhan. Ada untung dan rugi, bukan karena kasih. Perbedaan tentang ini dapat di lihat bahwa Tuhan Yesus melakukan sesuatu untuk umat manusia atas dasar KASIH. Karena kasih, Tuhan Yesus rela berkorban. Ibid hal 3
Para penghuni bumi berhubungan dengan para leluhur atau penghuni langit juga melalui sesajen. Ini merupakan pembagian rejeki denan para leluhur yang dianggap alamiah. Ibid hal 4
Bila kita mau merenungkan secara jujur hal-hal yang dilakukan orang-orang Tionghoa dalam sembahyang seperti membakar uang kertas, rumah-rumahan, mobil-mobilan, tempat tidur dan lain-lain tidak berkaitan dengan Hao (Bakti). Semua itu dilakukan sebagai upeti, karena penghuni langit telah memberi rejeki dan perlindungan. Bila kita memakai istilah di dunia ini ialah uang keamanan atau uang perlindungan yang biasanya diberikan kepada preman, sindikat, mafia dan sebagainya. Jadi pemujaan pada para leluhur di sini tidak murni pemujaan, sebagai ungkapan rasa hormat dan sayang. Lebih banyak dilakukan karena rasa takut, ada perhitungan untung dan rugi. Ibid hal 4
Hal inipun dapat dilihat dari sikap hidup sehari-hari orang Tionghoa seperti: Pada waktu orang tua masih hidup banyak anak yang tidak menaruh perhatian. Bahkan ada yang tidak peduli dan tidak mau tahu tentang keadaan orang tuanya. Namun apabila orang tuanya sudah meninggal, mereka mengadakan sembahyang atau sesajen. Biar mereka tidak punya uang, mereka pinjam untuk sembahyang. Mereka mempersembahkan ayam, babi dan lain-lain bukan untuk hal yang dinamakan Hao atau rasa hormat pada leluhur, tetapi ini berkaitan dengan perbuatan Langit dan bumi. Bila mereka tidak memberi sesajen, maka mereka akan mengalami bencana. Juga bukan atas dasar rasa berbakti dan saling menghormati, tetapi karena rasa takut akan kutuk atau akibat perbuatannya.Ibid hal 4
Ada ikatan yang menakutkan. Apabila manusia berbuat kesalahan (Tidak dapat memenuhi syarat/tidak dapat menjalani ketentuan yang harus dilakukan) akan mengalami akibat yang luar biasa. Biasanya cara mengatasinya adalah dengan kias, dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Bilamana gagal, maka hukuman dan kewajiban itu akan semakin bertambah banyak dan semakin banyak pula kegagalannya. Ibid hal 4
Hal selanjutnya yang perlu diketahui ialah bahwa dari pihak bumi untuk berbicara pada pihak langit itu melalui sesajen/sembahyang/korban. Dan pihak langit berbicara pada pihak bumi melalui Ramalan/Kwa Mia/Ciam Si dan lain-lain. Para leluhur mengetahui masa depan keturunannya. Namun kemampuan mereka terbatas. Para leluhur lebih banyak tahu tentang masa lalu dan masa depan yaitu pada turunan satu marga. Itulah sebabnya ada Rumah Sembahyang marga, umpamanya Rumah Sembahyang marga Djiau dan sebagainya. Ibid hal 5
Para penghuni langit (para leluhur) lebih cenderung berpihak pada anak cucunya sendiri atau keturunannya sendiri, dengan kata lain kurang peduli akan orang lain yang bukan keturunannya. Penghuni bumi dapat mengetahui kehendak langit melalui ramalan atau pemberitahuan tentang apa yang akan dialami dan jalan keluar (kias) juga melalui syarat-syarat tertentu. Ibid hal 5
Bila orang Tionghoa melakukan sembahyang/sesajen itu bukan murni atas dasar Hao (rasa bakti) atau kasih, melainkan atas dasar hubungan untung rugi. Dengan kata lain bila ada orang Tionghoa menjadi Kristen lalu tidak lagi mengurus abu leluhur atau sembahyang, tidak dapat dikatakan Put Hao atau tidak usah takut dan merasa bersalah terhadap leluhur. Sebab Tuhan Yesus melalui FirmanNya mengajarkan pada semua umatNya untuk menghormati orang tuanya. Ibid hal 8
Pengalaman saya dalam melayani kalangan orang Tionghoa, seringkali terbentur pada masalah pemujaan leluhur (Hao). Mereka dapat menerima kebenaran Injil dan bersedia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, bahkan ada juga di antara mereka yang sudah mengalami keajaiban, mujizat atau pertolongan dari Tuhan Yesus dan sempat mengikuti kebaktian di gereja beberapa kali. Namun akhirnya mengundurkan diri atau membatalkan niatnya dengan alasan ada tugas yang harus dilakukan yaitu memelihara abu para leluhur. Tekanan ataupun keharusan ini terutama dialami oleh pria yang memang diwajibkan, apalagi kalau ia anak laki-laki dan sulung. Ibid hal 8
Pemujaan leluhur ini berkaitan pula dengan Hao (bakti) yang sangat ditekankan di kalangan orang Tionghoa. Dan bila ditelusuri lebih dalam lagi, maka inipun berkaitan dengan kehidupan di balik kematian. Bagi mereka yang memelihara abu leluhur, juga berpengharapan bila Ia sudah meninggal dunia maka generasi selanjutnya akan melakukan hal yang sama terhadapnya. Sebab hidup yang akan datang akan susah bilamana tidak ada orang yang sembahyang, mengirim sesajen, rumah-rumahan dan lain-lain. Masa depan mereka belum terjamin. Ibid hal 8
Dalam pandangan umum di kalangan orang Tionghoa, seandainya mau menjadi orang Kristen, jadilah orang Kristen Katolik. Sebab di sini mereka masih mempunyai kebebasan untuk dapat pasang hio sebagai tanda bakti pada orang tua ataupun dengan istilah yang lain. Ibid hal 8
Orang Tionghoa mempunyai kepercayaan bahwa leluhurnyalah yang akan memberi rejeki atau tidak. Bila mereka berbuat baik pada leluhurnya, maka mereka akan mendapat rejeki. Orang She Lim, hanya akan ditolong oleh leluhurnya yang she Lim juga. Itulah sebabnya dalam hal penyembahan leluhur, mereka sangat ketat, Salah satu cara untuk mendapatkan rejeki dari leluhur ialah dengan mengatur letak/arah kuburan yang tepat atas perhitungan Hong Shui. Makin bagus dan tepat arah kuburan, maka rejeki yang diterimanya makin besar atau makin baik. Ibid hal 9
Bengcu menggugat:
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. Keluaran 20:12
Saya bermimpi ngobrol dengan Markus ketika sedang merenungkan ayat tersebut di atas.
Bengcu : Anda pernah membaca Sishu dan Wujing serta Mozi?
Markus : Apa itu?
Bengcu : Sishu dan Wujing adalah kitab suci umat Khonghucu sedangkan Mozi adalah kitab suci umat Mojiao. Di dalam kitab-kitab itu anda bisa mempelajari ajaran berbakti (hokian: hao) dan tata ibadah serta makna sembahyang arwah orang Tionghoa.
Markus : Untuk apa mempelajarinya? Bukankah saya sudah menulisnya dengan gamblang?
Bengcu : Gamblang menurut anda dan Huston Smith, namun belum tentu benar bukan?
Markus : Kenapa bawa-bawa nama Huston Smith?
Bengcu : Karena inti sari buku anda dikutip dari bab keempat buku Agama-Agama Manusia karangan Huston Smith.
Markus : Anda menuduh saya melakukan plagiat?
Bengcu : Anda hanya mengutip satu bab, itu tidak melanggar undang-undang hak cipta, namun anda benar-benar mengutipnya habis-habisan.
Markus : Yang ditulisnya sudah bagus, untuk apa diolah lagi?
Bengcu : Bagus menurut anda belum tentu benar bukan? Kenapa anda menggunakan kata sesajen? Kenapa tidak menggunakan kata persembahan atau korban?
Markus : Mustahil yang ditulis Huston Smith salah, dia orang Amerika. Sesajen, persembahan atau korban, bukankah sama saja?
Bengcu : Ketika memimpin kebaktian di gereja, kenapa anda tidak menggunakan kata sesajen?
Markus : Tentu saja kita tidak boleh menggunakan kata sesajen untuk persembahan kepada Tuhan.
Bengcu : Bukankah anda bilang, sesajen sama saja dengan korban atau persembahan?
Markus : Tentu saja beda. Persembahan dan korban itu untuk Tuhan, dasarnya adalah cinta kasih sedangkan sesajen itu dasarnya rasa takut dan saling menguntungkan.
Bengcu : Anda pernah mendengar orang Tionghoa berdoa minta rejeki kepada almarhum ayah ibunya dan kakek neneknya? Anda pernah mendengar orang Tionghoa membanggakan almarhum ayah ibunya dan kakek neneknya sebagai dewa?
Markus : Belum pernah!
Bengcu : Bila belum pernah, kenapa menuduh mereka menyembah arwah leluhur? Bila belum pernah, kenapa mengajarkan mereka percaya bahwa leluhurnya yang mati menjadi dewa-dewi?
Markus : Bukankah orang Tionghoa menyembah dewa-dewi? Bukankah sebagian dewa-dewi itu dulunya manusia? Bukankah mereka memberi sesajen kepada leluhurnya karena takut disebut anak tidak berbakti dan takut tidak mendapat rejeki? Bukankah itu penyembahan arwah leluhur?
Bengcu : Orang Tionghoa melakukan sembahyang arwah atas dasar cinta kasih dan rasa hormat. Umat Dao dan tradisi Tionghoa memang menyembah dewa-dewi yang sebagian besar adalah manusia-manusia yang mencapai kesempurnaan.
Markus : Mereka sembahyang karena rasa takut hukuman dan mengharapkan rejeki. Mereka memang tidak berdoa namun itulah makna di dalam sembahyangnya. Semakin banyak sesajen, semakin banyak rejeki yang akan diterima, itu sebabnya jor-joran dalam sembahyang.
Bengcu : Saya yakin anda merasa sudah tahu ajaran berbakti (hokian: hao) kepada orang tua, namun belum tentu anda tahu kebenaran ini.
Cengzi berkata, “Adanya diriku ini karena ayah bunda mewariskan tubuhnya. Karena tubuh ini warisan ayah bunda, tidak berani tidak hormat. Mewarisi rumah namun tidak mengurusnya, itu melanggar bakti. Mengabdi namun tidak setia itu melanggar bakti. Memimpin namun tidak menghormati bawahan itu melanggar bakti. Berteman namun tidak tulus itu melanggar bakti. Ikut perang namun tidak bersikap berani itu melanggar bakti. Tidak memenuhi kewajiban kelima perkara tersebut adalah aib bagi keluarga. Tidak berani tidak menjunjung tinggi. Menyajikan makanan enak dan harum itu hanya merawat, bukan berbakti. Yang dimaksudkan dengan berbakti oleh seorang susilawan (junzi 君子) adalah ketika seluruh negeri memuji dengan tulus, “Sungguh beruntung memiliki anak seperti itu” Itulah yang disebut berbakti. ajaran agama yang menjadi akar kehidupan masyarakat adalah bakti. Yang disebut merawat itu mudah dilakukan karena yang sulit adalah menghormati. Banyak orang yang mampu menghormati, namun bersikap sabar itu sulit. Banyak orang dapat bersikap sabar, namun bersikap sabar hingga akhir itu sulit. Setelah ayah bunda meninggal, tidak mencemarkan nama baik keluarga, itulah yang disebut berbakti sampai akhir. Cinta kasih (ren 仁) adalah cinta kasih untuk menjalankan semuanya. Kesusilaan (li 禮) adalah panduan untuk menjalankan semuanya. Kebenaran dan keadilan (yi 義) adalah standard untuk menjalankan semuanya. Ketulusan (xin 信) adalah nurani dalam menjalankan semuanya. Kekuatan (qiang 強) adalah ketahanan untuk menjalankan semuanya. Kebahagiaan (le 樂) akan menyertai orang yang taat sepanjang hidupnya. Hukuman (xing 刑) akan mengikuti orang yang menentang atau tidak menjalankannya. Liji XXI:II:11- Jiyi
Itulah ajaran berbakti orang Tionghoa yang seharusnya diajarkan dan dipahami dari generasi ke generasi. Apa pandapat anda?
Markus : Ajarannya bagus. Dari mana anda mendapatkannya? Kenapa saya tidak tahu ajaran demikian?
Bengcu : Ayat tersebut tercatat dalam Liji (kitab kesusilaan), salah satu kitab di dalam Wujing (lima kitab), kitab suci agama Khonghucu. Selama pemerintahan orde baru semua hal yang berbau Tionghoa diharamkan, di samping itu, kebanyakan orang Kristen menganggap kitab suci agama lain, apalagi agama Khonghucu yang dianggap penyembah arwah leluhur adalah sampah. Mungkin Itu sebabnya anda tidak tahu ajaran demikian.
Markus : Orang Tionghoa memang menyembah arwah leluhur, percuma membantahnya. Saya paham ajaran mereka.
Bengcu : Walaupun banyak yang taat melakukannya, namun sedikit sekali yang memahami makna upacara perkabungan (sang) dan sembahyang arwah (ji).
Kongzi berkata, “Memperlakukan orang mati sebagai bangkai itu tidak manusiawi. Karena itu, jangan dilakukan. Memperlakukan orang mati sebagai orang hidup itu tidak bijaksana. karena itu jangan dilakukan. Dikatakan: Bambu tidak dianyam dengan sempurna, keramik tidak dibakar hingga matang, kayu tidak dipotong dengan sempurna. Kecapi dan biolanya bersenar, namun nadanya rancu. Serulingnya dibuat secara lengkap tetapi suaranya tidak harmonis. Lonceng dan batu musik dibuat tanpa rak dan kuda-kuda. Semua itu disebut barang rohani (Mingqi 明器) untuk melayani makluk roh (Shenming 神明). Liji IIA:III:3 – Tangong shang
Melakukan sembahyang berarti meneruskan untuk merawat dan terus berbakti (xiao 孝), sebab berbakti berarti merawat. Taat kepada jalan suci (dao 道) tidak berani mengingkari hubungan keluarga, itulah yang disebut merawat. Itu sebabnya dikatakan seorang anak berbakti akan mewujudkan baktinya kepada orang tua melalui tiga jalan suci yaitu: Ketika orang tuanya hidup, dia merawatnya (yang 養). Ketika orang tuanya meninggal, dia berkabung (sang 喪). Setelah masa perkabungan berlalu dia menyembahyanginya (ji 祭). Ketika merawat dia menunjukkan kepatuhan, ketika berkabung dia menunjukkan kesedihan, ketika sembahyang dia menunjukkan rasa hormat (Jing 敬) dari waktu ke waktu. Dengan menggenapi ketiga jalan suci tersebut dia memenuhi seluruh kewajiban baktinya. Liji XXII:3 – Jitong
Zilu berkata, “Sungguh malang nasib orang miskin! Ketika orang tuanya hidup tidak memiliki apapun untuk merawat mereka, ketika meninggal tidak memiliki apapun untuk menegakkan kesusilan (li 禮).” Kongzi berkata, “Biarpun hanya makan nasi dan minum air putih selama dapat membuat mereka bahagia, itu sudah berbakti (xiao 孝) namanya. Hanya mampu membungkus tangannya dan membiarkan kakinya telanjang lalu menguburkannya tanpa peti mati, itu sudah memenuhi kesusilaan.” Liji IIB:II:16 – Tangong xia
Apakah ayat-ayat tersebut di atas mengajarkan penyembahan arwah orang mati dan memberi sesajen kepada leluhur?
Markus : Tidak! Namun teori selalu berbeda dengan prakteknya.
Bengcu : Ketika ditinggal mati oleh orang yang disayangi, kebanyakan orang kehilangan kendali. Untuk menghindari tindakan di luar batas dan sia-sia maka para nabi Tiongkok kuno membuat tata cara perkabungan dan sembahyang arwah dengan pembatasan-pembatasan. Pembatasan pertama menentukan siapa saja yang boleh berkabung.
Siapa Yang Boleh Berkabung?
Untuk generasi keempat dikenakan pakaian berkabung, inilah batas akhir mengenakan pakaian berkabung, pada generasi ke lima pakaian berkabungnya dilepas karena ikatan kekeluargaannya semakin berkurang. Pada generasi ke enam ikatan kekeluargaannya telah hilang. Liji XIV:7 – Dazhuan
Fushu 服術 (melayani orang mati) ada enam aturannya. Yang pertama dinamakan qinqin 親親 (ikatan kekeluargaan). Kedua dinamakan zunzun 尊尊 (bobot rasa hormat). ketiga dinamakan ming 名 (nama). Keempat dinamakan churu 出入 (keluar masuk). Kelima dinamakan zhangyou 長幼 (dewasa atau anak-anak ). Keenam dinamakan congfu 從 服 (ikut malayani). Liji XIV:9 – Dazhuan
Congfu 從服 (ikut melayani) ada enam aturannya: Yang harus melayani (shucong 屬從). Yang ikut melayani (ducong 徒從). Harus melayani dan memakai pakaian kabung namun tidak memakainya. Harus melayani tanpa pakaian berkabung namun memakainya. Yang harus Berkabung berat namun berkabung ringan. Yang berkabung ringan namun harus berkabung berat. Liji XIV:10 – Dazhuan
Kebenaran dan keadilan (Yi 義) seseorang, diturunkan dari leluhur. Dipatuhi (Shun 順) ke bawah hingga ke orang tua. Namanya makin kuat. Yang satu enteng yang satu kuat. Itulah keadilan dan kebenaran yang benar. Liji XIV:11 – Dazhuan
Tanpa ikatan kekeluargaan tidak ada perkabungan. Jauh dekatnya ikatan kekeluargaan yang membedakan. Liji XIV:17 – Dazhuan
Ikatan cinta kasih kekeluargaan adalah syarat utama untuk melakukan perkabungan dan sembahyang arwah. Apa pendapat anda tentang hal itu?
Markus : Harus diakui, apa yang anda ajarkan di luar dugaan sama sekali!
Bengcu : Pembatasan kedua menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Yang boleh Dan Tidak Boleh Dalam Perkabungan
Ziyou bertanya tentang tata cara perkabungan. Kongzi menjawab, “Tergantung kekayaan Keluarga almarhum.” Ziyou bertanya, Ziyou bertanya, “Yang kaya dan yang miskin, haruskah melakukan hal yang sama?” Kongzi menjawab,”Yang kaya tidak boleh melampaui li 禮 (kesusilaan). Untuk keluarga almarhum, ikat kepala dan tanpa alas kasi. Sebelum dikuburkan, setiap bagian dari peti mati tertutup rapat. Mustahil orang kaya menyalahi hal demikian! Liji IIA:III:17 – Tangong shang
Cheng zigao terbaring di kamarnya karena sakit. Qingyi masuk menemuinya dan berkata, “Tuan, setiap penyakit ada akhirnya. Andai kata akhirnya menjadi mahasakit, bagaimana menanganinya?” Zigao berkata, “Aku telah mendengar, ‘waktu hidup berguna bagi orang lain, setelah mati tidak menyusahkan orang lain.’ Ketika hidup aku tidak terlalu berguna bagi orang lain, setelah meninggal nanti, mana boleh menyusahkan orang lain? Bila aku mati, pilihlah sepetak tanah yang gersang lalu kuburkan aku di sana.” Liji IIA:III:22 – Tangong shang
Perkabungan merupakan ungkapan dukacita yang sangat mendalam. Ratapannya selalu berbeda-beda. Junzi 君子 (susilawan) memikirkannya dari awal sampai akhir. Liji IIB:I:21 – Tangong xia
Mengisi mulut jenasah dengan beras itu didorong oleh perasaan tidak tega membiarkannya kosong. Bukan untuk memberinya makan, hanya agar nampak lebih cantik. Liji IIB:I:24 – Tangong xia
Barang sembahyang disajikan dalam bejana sederhana, karena bagi orang hidup perasaan dukacita adalah perasaan hati yang alamiah. Untuk keperluan sembahyang sesuai tata ibadah, tuan rumah menyiapkan segalanya sendiri. Bagaimana mungkin arwah (zhishen 知神 ) menikmati sajian sembahyang? Itu hanya cara bagi tuan rumah untuk mengungkapkan rasa hormatnya yang tulus. Liji IIB:I:27 – Tangong xia
Apa pendapat anda sekarang?
Markus : Lanjutkan cerita anda, saya ingin memahaminya!
Bengcu : Pembatasan ketiga menentukan jenis barang-barang yang boleh digunakan untuk sembahyang arwah. Pembatasan ini diwujudkan dalam bentuk pakaian berkabung, pakaian almarhum, peti mati, barang sembahyang (mingqi) dan alat-alat sembahyang (jiqi).
Barang-Barang Sembahyang Orang Mati
Zhongxian 仲憲 berkata kepada Cengzi 曾子, “Dinasti Xia 夏 menggunakan barang rohani (mingqi 明器); Hal ini untuk menunjukan kepada rakyat bahwa arwah orang mati (Zhi 知) itu tidak ada. Orang-orang dinasti Yin 殷 menggunakan perlengkapan sembahyang (jiqi 祭器); Hal ini untuk menunjukan kepada rakyat bahwa arwah orang mati itu ada. Orang-orang dinasti Zhou 周 menggunakan keduanya (mingqi dan jiqi); Hal ini untuk menunjukan kepada rakyat keraguan mereka akan keberadaan arwah orang mati.” Cengzi 曾子 berkata, “Bukan itu maksudnya! Bukan itu maksudnya! Barang rohani (mingqi) adalah peralatan untuk arwah (gui鬼), perlengkapan sembahyang (jiqi) adalah peralatan untuk orang hidup, orang-orang kuno menggunakan keduanya untuk mengungkapkan cinta persaudaraan (qinhu 親乎).” Liji IIA:III:6 – Tangong shang
Kongzi mengatakan bahwa orang yang mengajarkan penggunaan barang rohani (mingqi 明器) adalah orang yang benar-benar memahami jalan suci perkabungan (shangdao 喪道). Barang-barang tersebut nampak asli, namun tidak dapat digunakan. Ah..! Menggunakan barang-barang asli bagi orang mati, hal itu dapat mendorong orang untuk menguburkan orang hidup. Liji IIB:I:44 – Tangong xia
Disebut barang rohani (mingqi 明器) karena digunakan untuk melayani makluk roh (Shenming 神明). kereta-keretaan tanah liat dan orang-orangan jerami sudah digunakan sejak purbakala, itulah jalan suci (dao 道). Kongzi menyatakan bahwa penggunaan orang-orangan jerami paling tepat. Menggunakan orang-orangan kayu tidak manusiawi karena akhirnya akan mendorong orang untuk mengguburkan manusia hidup. Liji IIB:I:45 – Tangong xia
Uang-uangan, rumah-rumahan, orang-orangan, mobil-mobilan dan barang-barang tiruan lainnya di sebut mingqi (barang sembahyang). Semuanya digunakan untuk mengungkapkan cinta kasih orang hidup kepada orang mati, bukan untuk memberi makan dan kenikmatan kepada orang mati. Ha ha ha ha … Anda pasti kaget setengah mati ketika tahu makna mingqi bagi orang Tionghoa. Walaupun nampak unik bukankah semuanya wajar? Semua itu untuk menghindarkan manusia melakukan hal sia-sia, mempersembahkan barang-barang yang tidak dibutuhkan orang mati.
Markus : Anda benar, makna di balik penggunaan mingqi sungguh luar biasa. Hal itu bertolak belakang dengan pemahaman saya selama ini. Kenapa selama ini tidak ada yang mengajarkan tentang hal itu?
Bengcu : Sejak lama li (kesusilaan) tidak diajarkan lagi secara lengkap dari generasi ke generasi orang Tionghoa, itu sebabnya banyak orang Tionghoa yang melakukannya tidak tahu maknanya sementara yang tidak melakukannya justru melecehkannya. Pembatasan keempat menentukan lamanya waktu berkabung.
Waktu Berkabung
Perkabungan tiga tahun berakhir setelah dijalani selama dua puluh lima bulan. Rasa sedih dan duka belum hilang. Rasa kangen pun belum terlupakan. Sebaiknya pakaian berkabung ditanggalkan. Mustahil mengantar orang mati tanpa akhir karena setiap pesta manusia pasti ada akhirnya, bukan? Liji XXXV:3 – Sannianwen
Dikatakan tiga tahun (sannian 三年) adalah yang lama. Tiga bulan (sixiaobao 緦小宝) adalah yang singkat. Sembilan bulan (jiuyue 九月) di antaranya. Dari atas mendapat bentuk dari Tian 天, dari bawah mendapatkan hukum dari Di 地, dari tengah mendapat teladan dari manusia. Manusia walau pun berbeda-beda dan terpisah namun esa (yi 壹) dalam hakekat (li 理 ) Liji XXXV:12 – Sannianwen
Markus : Tidakkah berkabung selama tiga tahun itu terlalu lama? Bukankah selain tidak wajar juga bukan buang-buang waktu percuma?
Bengcu : Dalam perkabungan tiga tahun sesungguhnya hanya dijalani selama dua puluh lima bulan. Apabila hanya bersedih memang waktunya terlalu lama. Namun, anak sulung yang berkabung tiga tahun atas kematian orang tuanya hidup di dalam perenungan dan keprihatinan. Itulah kesempatan untuk belajar memahami arti kehidupan dan menyusun rencana untuk menjalani hidup sebagai pemimpin keluarga.
Setelah masa perkabungan lewat hanya anak sulung yang berhak merawat papan arwah leluhurnya dan menyembahyanginya pada hari-hari tertentu. Selain anak sulung tidak boleh melakukan sembahyang arwah. Setelah mewakili semua anggota keluarganya meratap menyatakan kesedihan karena ditinggal mati oleh orang tuanya, dia lalu melayani pemeran arwah makan seolah melayani almarhum.
Hanya Anak Sulung
Shuzi 庶子 (bukan ahli waris) tidak boleh menyembahyangi walaupun itu adalah leluhurnya. Shuzi tidak boleh mengenakan pakaian berkabung tiga tahun karena dia bukan ahli waris leluhurnya. Liji XIV:13 – Dazhuan
Kongzi berkata, “Jangan menyembah gui (arwah orang mati), itu menjilat. Mengetahui kebenaran namun tidak melakukannya, itu tidak ksatria. Lunyu II:24:1-2 – Weizheng
Setelah menahbiskan seorang pemeran arwah (shi) disediakan sebuah meja kecil dan tikar. Setelah berhenti menangis menyatakan kesedihannya, maka pelayanan terhadap orang hidup dianggap cukup kemudian pelayanan terhadap arwah pun dimulai. Setelah berhenti meratap maka kepala rumah tangga membunyikan lonceng kayu dan menyampaikan amanat ke seluruh ruangan, katanya, “Berhentilah menggunjingkannya, biarlah dia memulai hidup baru. Hendaklah itu dimulai dari kamar tidur hingga pintu gerbang.” Liji IIB:III:6 – Tangong xia
Ceng ziwen bertanya, “Ketika melakukan sembahyang arwah, perlukah pemeran arwah atau cukup hanya melakukan sembahyang secara hikmat?” Kongzi menjawab, “Dalam sembahyang arwah untuk orang dewasa harus ada pemeran arwah. Hanya cucu almarhum yang boleh menjadi pemeran arwah. Bila cucunya masih kecil, maka dia menjadi pemeran arwah sambil digendong seseorang. Bila almarhum tidak memiliki cucu, boleh digantikan oleh saudara semarga. Untuk sembahyang arwah bagi orang yang mati muda tidak perlu pemeran arwah karena almarhum belum dewasa. Melakukan sembahyang arwah untuk orang dewasa tanpa pemeran arwah itu sama dengan memperlakukannya sebagai orang yang mati muda. Liji V:II:20 – Ceng ziwen
Silahkan memberi pendapat, apakah orang Tionghoa menyembah arwah leluhurnya?
Markus : Ajarannya memang bagus, namun apakah pelaksanaannya seperti itu? Di samping itu, bukankah yang anda ajarkan adalah ajaran agama Khonghucu? Bagaimana dengan ajaran agama Dao? Apakah anda tahu orang-orang Tionghoa minta bantuan penilik hongshui untuk memilih hari dan lokasi makam, bahkan arah hadap makam?
Bengcu : Anda benar, yang saya ajarkan memang ajaran Tiongkok kuno atau ajaran agama Khonghucu. Di dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan. Mozi (470-391 SM) mencatat, sementara temuan arkeologi membuktikannya. Di Tiongkok kuno pernah terjadi kebiadaban menguburkan orang-orang hidup untuk melayani orang mati dan pemborosan waktu dan harta benda untuk upacara perkabungan, berikut ini adalah catatan Mozi.
Apa yang mendatangkan kemakmuran di kolong langit (Tianxia 天下)? Apa yang menolak bencana di kolong langit? Apa yang membuat negara dan kampung serta masyarakat tidak damai sejahtera? Sejak purbakala hingga hari ini, sama sekali tidak ada pengetahuan tentang hal itu. Dari mana kita tahu bahwa yang kita ketahui itu benar? Saat ini, di kolong langit, para sarjana dan susilawan (junzi 君子) sama-sama mempertanyakan dengan sungguh-sungguh, “Apakah tradisi penguburan mewah (Houzang 厚葬) dan perkabungan lama (Jiusang 久喪) di Tiongkok membawa kemakmuran atau justru mendatangkan bencana?” Tentang hal itu, Guru Mozi berkata, “Aku sudah melakukan penyelidikan dengan seksama. Hingga hari ini, tidak ada hukum yang mengharuskan penguburan mewah dan perkabungan lama walaupun hal itu dilakukan di seluruh negeri dan rumah tangga. Sembahyang orang mati bagi raja, rajamuda, dan orang-orang besar. Dikatakan: Peti mati harus rangkap dua, peti mati luar (guo 槨) dan peti mati dalam (guan 棺). Penguburan harus mewah. Pakaian dan jubah harus banyak. Buku, lukisan dan sulaman harus aneka macam. Pusara dan kuburannya harus besar dan luas. Demi melayani seorang rakyat jelata yang mati, harus menguras gudang harta keluarga. Demi melayani seorang rajamuda yang mati, harus menghentikan seluruh roda pemerintahan. Emas, batu giok, batu permata dan mutiara digunakan untuk mempercantik tubuh. Pakaian-pakaian sutra untuk berbagai acara dan musim. Kereta-kereta dan kuda-kuda untuk berbagai medan berbeda juga berbagai jenis tenda. Bejana, genderang, meja kecil, meja panjang dan mangkok, tidak boleh pilih-pilih. Tombak, pedang, hiasan bulu, panji-panji, kereta tempur, baju jirah, sarung tangan, semuanya dikuburkan secara lengkap. Untuk melengkapi semua itu, maka, untuk raja (Tianzi 天子) disertakan paling banyak ratusan dan paling sedikit puluhan Shaxun 殺殉 (orang hidup yang dikubur untuk melayani orang mati). Untuk para jenderal dan menteri disertakan paling banyak puluhan dan paling sedikit beberapa orang Shaxun. Mengenai perkabungan apa yang diharuskan oleh ajaran ini? Disebutkan: Menangislah dengan sedu-sedan tidak terkendali seperti suara orang tua. Kenakan pakaian kabung rami dan ikat kepala putih. Air mata dan ingus tidak boleh diseka. Tinggal di gubuk dan tidur di atas tikar dengan bantal tanah. Berusaha untuk tidak makan agar nampak kelaparan. Menanggalkan pakaian agar nampak kedinginan. Matanya dipicingkan seolah takut melihat sinar. wajahnya gelap dan pucat. Telinganya nampak seolah agak tuli. Tangan dan kaki seolah tak bertenaga dan sulit untuk digerakkan. Juga dikatakan: Jika pejabat tua berkabung, dia harus dibantu ketika hendak berdiri dan dia menggunakan tongkat ketika berjalan. Semuanya dilakukan hingga genap tiga tahun. Hukum demikian, ajaran demikian, dijadikan sebagai jalan (Dao 道) dan mengharuskan raja, pangeran dan orang-orang besar menaatinya. Tidak boleh pergi ke pengadilan, kantor lima pelayanan publik dan enam kantor pemerintahan, memerintah pekerja di sawah dan kebun, menghitung hasil panen dan memasukkannya ke lumbung. Mengharuskan para petani menaatinya. Demi menaatinya, tentu saja tidak boleh pergi dan pulang malam-malam untuk mengurusi sawah dan kebun serta pekerjaan lainnya. Mengharuskan beratus tukang menaatinya. Karena menaatinya, tentu saja tidak boleh memperbaiki perahu, kereta serta barang-barang teknik lainnya. Mengharuskan para istri menaatinya. Karena menaatinya, tentu saja tidak boleh bangun pagi-pagi dan tidur larut malam untuk menenun kain dan menjahit pakaian. Demi penguburan mewah, banyak harta yang ikut dikuburkan. Demi perkabungan lama, banyak pantangan yang harus ditaati dan banyak sembahyang yang harus dijalankan. Harta yang telah terkumpul dikuburkan sementara hasil yang akan didapat kemudian tertunda karena menaati pantangan. Mencari kemakmuran dengan cara demikian ibarat melarang orang bercocok tanam namun menuntut panen. Dengan ajaran demikian, mustahil meningkatkan kemakmuran.” Mozi – Jiezang xia 4
Para penganut ajaran penguburan mewah (houzang 厚葬) dan perkabungan lama (jiusang 久喪) mengatakan, “penguburan yang mewah dan perkabungan yang lama, walaupun tidak dapat membuat orang miskin menjadi kaya, menjadikan yang sendirian menjadi kumpulan orang, menolak bencana dan malapetaka serta menjadikan negeri yang kacau menjadi damai, namun ini adalah ajaran para Raja Suci.” Guru Mozi berkata,”Tidak benar! Dahulu kala, Raja Yao meninggal ketika melakukan perjalanan ke utara untuk mendidik kedelapan suku Di 狄. Dia lalu dikuburkan di lembah gunung Qiong, ia mengenakan baju dan jubah, semuanya tiga potong. Peti matinya terbuat dari kayu lunak yang diikat dengan tali rami, peti matinya lalu diturunkan ke liang lahat diiringi tangisan kesedihan, liang lahatnya hanya ditutupi dengan tanah, tanpa nisan. Setelah penguburannya, lembu dan kuda bebas berkeliaran di atasnya. Raja Shun meninggal dalam perjalanan ke Timur untuk mendidik ketujuh suku Rong 戎. Ia dikuburkan di kota Nanji, mengenakan baju dan jubah, semuanya tiga potong. Peti matinya terbuat dari kayu lunak yang diikat dengan kain rami. Setelah penguburannya, masyarakat bebas berlalu lalang di atasnya. Raja Yu meninggal dalam perjalanan ke Barat untuk mendidik kesembilan suku liar (Jiuyi 九夷). Dia dikuburkan di gunung Huiji, mengenakan pakaian dan jubah tiga potong, peti matinya dibuat dari kayu Tong yang tebalnya tiga 3 inci yang diikat dengan kain rami. Peti matinya tidak menutup sempurna ketika diikat dan tidak terkubur penuh ketika diturunkan ke liang lahat. Bagian bawahnya tidak dalam agar tidak mengenai mata air sehingga bagian atasnya tidak cukup tebal untuk menahan baunya menyebar, maka di atasnya ditimbun dengan tanah membentuk pusara yang tingginya tiga kaki. Berdasarkan kisah ketiga Raja suci tersebut, bila memikirkannya baik-baik, maka dapat disimpulkan bahwa penguburan mewah (houzang 厚葬) dan perkabungan lama (jiusang 久喪) bukanlah ajaran ketiga Raja Suci ini. Ketiga Raja Suci ini adalah Tianzi 天子 (Anak Tian) yang agung, penguasa bawah langit ini, Bagaimana mungkin merasa kuatir atau tidak mampu untuk membiayai (penguburan mewah)? Pastilah karena inilah ajaran yang benar tentang penguburan orang mati. Mozi Jie – Zang Xia 10
Para penganut ajaran penguburan mewah dan perkabungan lama mengatakan, “Kalau penguburan mewah dan perkabungan lama bukan ajaran para Raja Suci, kenapa para bijaksana di Tiongkok tidak menghentikannya, mereka terus melakukannya dan tidak memilih cara lain?” Guru Mozi berkata, “Ini karena terbiasa melakukannya lalu menganggapnya sebagai kebenaran yang harus ditaati oleh masyarakat. Dahulu kala di sebelah timur negeri Yue adalah negeri suku Kaimu. Di negeri ini, ketika anak sulung lahir, sesuai adat lalu dipotong dan dimakan, katanya ini akan membawa keberuntungan bagi adiknya. Ketika sang ayah meninggal, istrinya diusir dan dikucilkan, dikatakan, istri arwah tidak boleh hidup dengan penduduk kampung. Bagi penguasa ini berlaku sebagai hukum, bukan adat istiadat, mereka melakukannya terus-menerus dan mentaatinya tanpa pilih-pilih. Hukum seperti ini bagaimana mungkin dikatakan ajaran yang baik, berprikemanusiaan, adil dan benar? Inilah yang dikatakan kebiasaan melakukannya lalu menganggapnya sebagai kebenaran yang harus ditaati masyarakat. Di sebelah selatan negeri Zhu adalah negeri Suku Yan, ketika ada anggota keluarga yang meninggal, mereka membiarkannya membusuk, setelah membersihkan daging-daging busuknya mereka lalu mengubur tulang-belulangnya, orang yang mentaati aturan ini disebut anak berbakti. Di sebelah barat negeri Qin adalah negeri suku Yiqu, ketika anggota keluarganya meninggal, mereka mengumpulkan kayu bakar lalu membakarnya, dikatakan, itulah caranya untuk mencapai tempat yang tinggi, melakukan hal ini dengan baik disebut anak berbakti. Para pemimpin menjadikan ini sebagai hukum, masyarakat menganggapnya sebagai adat istiadat, mereka melakukannya terus-menerus dan mentaatinya tanpa pilih-pilih. Hukum seperti ini mana mungkin dikatakan baik, berperi kemanusiaan, adil dan benar? Inilah yang dikatakan kebiasaan melakukannya lalu menganggapnya sebagai kebenaran yang harus ditaati masyarakat. Sehubungan dengan ajaran ketiga suku ini, bila memikirkannya baik-baik, nampak terlalu kejam. Sama seperti ajaran yang diajarkan oleh para bijaksana Tiongkok, bila memikirkannya baik-baik, nampak terlalu mewah. Bila ajaran ini terlalu mewah, maka ajaran itu terlalu kejam, benar, harus ada tatacara penguburan. Makanan dan pakaian berguna bagi manusia hidup. Benar, ada yang menyendiri ada yang merayakan. Penguburan berguna bagi orang mati, orang yang sendirian tidak merayakan peristiwa ini. Guru Mozi, mengenai tatacara penguburan berkata, “Peti mati tebalnya tiga inci, cukup baik untuk menampung daging yang membusuk dan tulang belulang; Tiga potong pakaian cukup untuk membungkus tubuh yang membusuk; Galilah liang lahat, bagian bawahnya tidak mengucurkan air, baunya tidak menembus keluar memenuhi udara, pusaranya cukup asal bisa dikenali setiap saat, Biarlah ini menjadi norma yang tetap. Menangislah ketika mengantar ke kuburan, menangislah ketika pulang, namun segeralah kembali pada kehidupan normal, mengurus masalah makanan dan pakaian, masalah kemakmuran. Jangan mengabaikan sembahyang, inilah perwujudan bakti dan hubungan persaudaraan. Inilah yang dikatakan guru Mozi mengenai ajaran ini tanpa memperhatikan keuntungan orang hidup dan orang mati. Mozi – Jiezang xia 12
Kemudian Guru Mozi berkata, “Hari ini, di bawah kolong langit, apabila para bijaksana (shi 士) dan susilawan (Junzi 君子) tidak menyebelah (zhong 中) ketika menghadapi keraguan dan menjadikan ren 仁 (cintakasih) dan yi 義 (keadilan & kebenaran) untuk memimpin kehendaknya, menyelidiki yang memimpin para bijaksana dari atas, Kehendak Yang di atas tidak menyebelah, itulah jalan (dao 道) para raja suci (shengwang 聖王). Yang di bawah adalah kehendak baratus marga keluarga zhongguo 中國 (negeri tidak menyebelah) yaitu keuntungan (li 利 ). Menjadikan suatu cara penguburan sebagai peraturan pemerintah, tidak boleh tidak mengujinya. Mozi – Jiezang xia 13
Dengan mengetahui ajaran yang benar dan yang salah, seharusnya generasi muda Tionghoa dapat melakukan hal yang benar. Yang melaksanakan, melakukannya dengan benar sementara yang tidak melaksanakannya tidak sembarangan melecehkannya.
Sejak purbakala bangsa Tionghoa percaya bahwa seorang anak yang tidak berbakti akan mendapat hukuman dari Tian (Tuhan), itu sebabnya mereka mengutamakan bakti dalam hidupnya.
Memang benar, banyak guru hongshui yang mengajarkan bahwa menguburkan jenazah di lokasi yang tepat, menghadap arah yang tepat, pada waktu yang tepat adalah salah satu cara untuk menarik Shengqi (Qi kehidupan). Namun, bukankah itu hanya ajaran penilik hongshui alias dukun?
Walaupun banyak yang tidak tahu arti upacara perkabungan dan sembahyang arwah, namun kesusilaannya tetap terjaga. Walaupun banyak yang tidak memahami maknanya, namun tidak ada yang menyembah arwah leluhur untuk minta rejeki.
Apabila sembahyang arwah adalah cara untuk meminta rejeki kepada leluhur, kenapa hanya anak sulung yang boleh melakukannya? Apabila sesajen menentukan jumlah rejeki yang akan diterima, kenapa sembahyang arwah hanya dilakukan pada hari tertentu?
Barang-barang sembahyang dibakar habis karena tidak berguna bagi orang hidup, namun makanan dan barang-barang lain yang berguna tidak pernah disia-siakan. Itulah bukti bahwa orang Tionghoa tidak menyembah arwah leluhur.
0 komentar:
Posting Komentar