Di Tiongkok kuno, saat raja Yao (2358-2258 SM) memerintah, kalender sudah ditemukan. Di dalam satu tahun, ada satu hari yang dikuduskan oleh bangsa Tionghoa kuno sebagai hari Suci atau Agung. Pada hari itu mereka menyembah Shangdi, RAJA segenap raja. Karena kesucian dan keagungannya, maka pada hari itu, mereka yang kematian pun tidak berani menangis apalagi berkabung. Sampai generasi ini, hari tersebut masih dirayakan namun sayang, selain telah kehilangan keagungan dan kesuciannya juga telah kehilangan maknanya. Hari itu adalah tanggal lima bulan lima kalender Tionghoa. Hari itu adalah hari yang siangnya paling lama sepanjang tahun. Dalam generasi ini, di Indonesia, hari itu disebut hari Peh Cun atau hari makan bakcang. Dalam tahun ini, hari itu adalah tanggal 12 Juni 2013 (16 Juni 2010 saat blog ini ditulis).
Makna Perayaan Peh Cun
Peh cun dalam bahasa Hokian artinya mendayung kapal. Perayaan Peh cun juga disebut Duanwu jie yang artinya perayaan musim panas. Orang-orang Tionghoa umumnya merayakan Peh cun dengan melakukan kegiatan:
1. Lomba Perahu Naga
2. Makan Bakcang
3. Menggantung Rumput Ai dan Changpu di depan rumah
4. Mandi Tengah Hari
Tentang makna perayaan Pe Cun, dewasa ini ada tiga teori yang diajarkan yaitu:
1. Perayaan Kematian Quyuan
Sima Qian di dalam kitab Shiji (sejarah) mencatat tentang Quyuan (339-277 SM), menteri negeri Chu yang jujur, cerdik dan penuh dedikasi. Karena intrik politik dia lalu dipecat dan diusir oleh rajamuda. Karena putus asa dia lalu bunuh diri dengan terjun ke sungai Yuluo pada tanggal lima bulan lima kalender Tionghoa. Sebagian orang Tionghoa generasi ini meyakini bahwa Peh Cun adalah perayaan hari kematian Quyuan.
2. Perayaan Kematian Wu Zixu
Ketika ayahnya, Wushe seorang guru istana kena fitnah, Wushang kakaknya berusaha menyelamatkannya namun gagal. Seluruh anggota keluarganya pun dibantai namun Wu Zixu (526-484 SM) berhasil melarikan diri ke negeri Wu kemudian mengabdi kepada rajamuda Wuwang Helu. Ketika Wuwang Helu meninggal dia digantikan oleh Wuwang Fuchai.
Wuwang Fuchai bukan rajamuda yang bijaksana itu sebabnya dia sama sekali tidak menghargai Wu Zixu. Ketika berhasil menang dalam sebuah pertempuran melawan negeri Qi, Wuwang Fuchai mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakannya. Wu Zixu kehilangan kesabarannya dan menegur rajamuda dengan keras di hadapan para undangan. Rajamuda marah bukan kepalang lalu menjatuhkan hukuman kepada Wu Zixu untuk melakukan bunuh diri dan mayatnya dibuang ke sungai.
Menurut cerita, pada masa pemerintahan Wuwang Helu, negeri Wu sangat makmur. Wu Zixu memerintahkan rakyat untuk mengukus beras lalu menumbuknya untuk kemudian dicetak menjadi batu bata. Batu bata beras itu ditumpuk lalu dilapisi dengan batu bata asli sehingga menjadi tembok kota.
Sepuluh tahun setelah Wu Zixu mati bunuh diri, negeri Wu diserang oleh negeri Yue. Kalah perang dan gagal panen menyebabkan negeri Wu dilanda kelaparan. Seorang pejabat istana ingat pesan Wu Zixu, “Bila terjadi bencana kelaparan, rubuhkanlah tembok kota bagian dalam karena batu batanya adalah dodol yang bisa di makan.” Sebagian orang Tionghoa generasi ini meyakini bahwa Peh Cun adalah perayaan untuk menghormati kematian Wu Zixu.
3. Sembahyang Arwah Suku Yue
Sebagian Sinolog mengajarkan bahwa perayaan Peh Cun adalah perayaan suku Yue yang hidup di Tiongkok selatan. Menurut catatan sejarah, perayaan itu sudah ada pada jaman dinasti Qin (221-206 SM), untuk menghormati arwah nenek moyang. Dalam perjalanan waktu, perayaan itu pun lalu dirayakan oleh seluruh bangsa Tionghoa.
Perayaan Peh Cun Di Mata Seorang Tionghoa Kristen
Handai taulan sekalian, mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, menurut saya, orang-orang yang mengajarkan makna perayaan Peh Cun sebagai peringatan atau penghormatan atas kematian Quyuan atau Wu Zixu atau sembahyang arwah leluhur suku Yue benar-benar TIDAK memahami sejarah dan kebudayaan Tionghoa kuno.
Hanya Tian Di Ayah Bunda berlaksa ada, hanya manusialah yang memiliki ling (jiwa) di antara berlaksa wujud. Orang yang paling tulus, cerdas dan bijaksana dijadikan raja. Raja adalah ayah bunda rakyat jelata. Shujing V:IA:3 – Taishi shang
Enam Kesusilaan (Liuli) meliputi: Upacara pengenaan topi atau akil balik (guan); Upacara perkawinan (hun); Upacara perkabungan (sang); Upacara sembahyang (ji); Perayaan pesta rakyat (xiang); Upacara menerima tamu (xiangxian). Tujuh ajaran (qijiao) meliputi etika pergaulan antara: Ayah dan anak; Kakak dan adik; Suami dan istri; Penguasa dan pejabat; Yang tua dan yang muda; Teman dan sahabat. Delapan asas pemerintahan (bazheng) meliputi: Pangan; Papan; Struktur pemerintahan; Sistem pengelompokan; Satuan ukuran panjang; Satuan ukuran berat; Satuan berhitung; Undang-undang. Liji III:V:28 – Wangzhi
Raja Suci (shengwang) menetapkan tatacara sembahyang korban (ji) dan sembahyang pemujaan atau penghormatan (shi). Yang berjasa menegakkan hukum di antara masyarakat disembahyangi (Shi). Yang gugur mengemban tugas negara disembahyangi. Yang berjasa besar kepada negara disembahyangi. Yang berhasil mengatasi bencana alam besar disembahyangi. Yang berhasil memadamkan pemberontakan besar disembahyangi. Konon kaum Lishan memimpin kolong langit karena putra mereka yang bernama Nong mengajarkan cara membudidayakan beratus biji-bijian. Dinasti Xia menolaknya. Dinasti Zhou menentang penolakan itu dan melanjutkan menyembahyanginya dengan gelar Ji (dewa pertanian). Kaum Gonggong berhasil menyatukan kesembilan negeri. Anak itu namanya Houtu. Karena jasanya mempersatukan kesembilan negeri, dia disembahyangi dengan gelar She (dewa bumi). Diku mampu memetakan rasi bintang dan mengajar rakyat untuk memanfaatkannya. Yao menyusun sistem hukum yang adil dan menegakkannya di antara rakyat. Shun sekuat tenaga mengajak rakyat bekerja keras hingga meninggal di hutan. Gun gagal mengatasi bencana banjir hingga dipenjara seumur hidup namun Yu puteranya mampu menggenapi pekerjaannya. Huangdi mendapatkan nama harum karena menciptakan beratus peralatan. Zhuanxu mampu melanjutkan pekerjaan Qi (menteri pendidikan Yao) dalam memajukan pendidikan masyarakat. Ming (menteri pekerjaan umum Yao) sekuat tenaga menjalankan tugasnya hingga mati tenggelam karena banjir. Tang sangat terkenal karena berhasil membebaskan rakyat dari penderitaan. Wenwang memerintah dengan bijaksana. Wuwang mengerahkan balatentaranya untuk membebaskan rakyat dari penindasan. Mereka semuanya melakukan jasa kepada masyarakat. Ibarat matahari, bulan dan bintang kejora, itu sebabnya rakyat sangat menghormati mereka. Gunung, hutan, sungai, lembah, bukit dan pegunungan adalah tempat manusia mendapatkan segala kebutuhannya. Yang bersalah kepada masyarakat menurut hukum tidak boleh disembahyangi. Liji XX:9 – Jifa
Pada hakekatnya, tidak perlu menjadi ahli sejarah dan kebudayaan Tionghoa kuno untuk memahami bahwa Perayaan Peh Cun MUSTAHIL adalah perayaan untuk memperingati atau menghormati Quyuan atau Wu Zixu atau Sembahyang Arwah Suku Yue. Anda perlu memahami ketiga ayat tersebut di atas.
Hanya Tianzi (Anak Tian – Anak Tuhan) alias raja yang BERKUASA untuk menetapkan Enam Kesusilaan (Liuli), Tujuh ajaran (qijiao) dan Delapan asas pemerintahan (bazheng). Hanya Tianzi PULA yang BERKUASA untuk menetapkan tata sembahyang. Tanpa KETETAPAN Tianzi MUSTAHIL bangsa Tiongkok kuno merayakan Peh Cun untuk memperingati atau menghormati Quyuan atau Wu Zixu atau Sembahyang Arwah Suku Yue. Yang berani melanggar KETETAPAN itu dianggap melanggar JALAN SUCI TUHAN alias Tiandao. Orang-orang demikian HARUS MATI.
Sanhuang Wudi
Dinasti Xia (2205-1766 SM) adalah dinasti pertama Tiongkok kuno yang didirikan oleh raja Yu. Jaman sebelum dinasti Xia disebut jaman Sanhuang (Tiga (raja) Agung) Wudi (Lima (kaisar) Suci). Menurut Sima Qian, di dalam kitab sejarah (Shiji), ketiga raja agung itu adalah:
1. Tianhuang (Tian yang agung)
2. Dihuang (Di yang agung)
3. Renhuang (manusia yang agung) alias Taihuang (Besar Agung)
Sementara kelima kaisar suci itu adalah:
1. Huangdi
2. Zhuanxu
3. Diku
4. Yao
5. Shun
Kitab sejarah Chunqiu yundou shu dan Chunqiu yuanming bao mencatat bahwa ketiga raja agung itu adalah:
1. Fuxi
2. Nuwa
3. Shennong
Tiga dinasti agung Tiongkok kuno adalah:
1. Xia 2205-1766 SM
2. Shang (1766-1122 SM)
3. Xizhou (1122-256 SM)
Raja Yao dan Kalender
Yao adalah seorang raja yang cerdas, bijaksana dan panjang akal serta mashyur di kolong langit. Ia siap mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada Shun, maka ditulislah Yaodian (kitab Yao). Shujing I:1 – Yaodian
Raja Yao memerintahkan Xi dan He, “Muliakanlah Haotian (Tuhan Yang Mahasuci), catatlah peredaran matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet lalu ajarkanlah dengan penuh hikmat kepada rakyat tentang waktu. Shujing I:I:3 – Yaodian
Baginda berkata, “Ingatlah! Kalian, Xi dan He, satu tahun terdiri dari tiga ratus enam puluh enam hari. Dengan memperhatikan kelebihan sebulan (runyue) setiap empat tahun, tetapkanlah empat musim secara tepat sepanjang tahun untuk menjamin beratus pekerjaan mencapai tujuannya dengan gemilang. Shujing I:I:8 – Yaodian
Pada jaman raja Yao (2358 – 2258 SM) kalender Tionghoa sudah ditemukan. Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan kepada kita BETAPA akuratnya kalender Tionghoa pada jaman raja Yao.
Hari SUCI Bangsa Tionghoa Kuno
Persembahan korban bakaran (ji 祭) di Jiao 郊. Menyambut datangnya hari terpanjang dalam setahun. Mengucap syukur agung kepada Tian 天 yang empunya matahari. Tempatnya di perbatasan kota bagian selatan. Tempat hangat dan terang. Di lapangan yang disapu bersih Persembahan korban bakaran dilakukan. Untuk menunjukkan kealamiahan. Peralatannya menggunakan belanga tanah liat sebagai simbol Tian 天 dan Di 地. Tempatnya di perbatasan, itu sebabnya disebut altar perbatasan. Hewan korbannya berbulu merah, warna yang paling dimuliakan. Mengorbankan binatang korban untuk menunjukkan penghormatan yang tulus. Liji IX:II:2 – Jiao tesheng
Pada hari sembahyang, Raja mengenakan topi kulit, mendengarkan petunjuk pemimpin upacara, menunjukan kepada rakyat betapa khusuknya atasan mereka. Yang sedang berkabung tidak menangis, tidak ada yang berani mengenakan pakaian berkabung. Jalan-jalan diperciki dengan air, disapu bersih dan tanahnya dibalik. Di kampung-kampung, obor dinyalakan di atas pematang-pematang sawah. Tanpa perintah rakyat meneladani atasannya. Liji IX:II:5 – Jiao tesheng
Hukum sembahyang korban (jifa). Kaum Youyu (Shun) menyertakan Huangdi dalam sembahyang korban Di dan menyertakan raja Ku dalam sembahyang korban jiao. Zhuanxu sebagai nenek moyang dan Yao sebagai teladan. Dinasti Xia menyertakan raja Huangdi dalam sembahyang korban Di dan Gun (ayah Yu) dalam sembahyang korban jiao. Zhuanxu sebagai nenek moyang dan Yu sebagai teladan. Orang-orang Yin (Shang) menyertakan Ku dalam sembahyang korban Di dan Ming (menteri pekerjaan umum Yao yang gugur dalam menangani banjir) dalam sembahyang korban jiao. Qi (menteri pendidikan Yao) sebagai nenek moyang dan dan Tang sebagai teladan. Orang-orang Zhou menyertakan Ku dalam sembahyang korban Di dan menyertakan Ji (Menteri pertanian Yao) dalam sembahyang korban jiao. Wenwang sebagai nenek moyang dan Wuwang sebagai teladan. LiJi XX:1 – Jifa
Bila lembu Di tidak diberkahi dapat digunakan untuk lembu menteri Ji. Lembu Di harus disucikan selama tiga bulan. Lembu Ji asal layak. Demikianlah dibedakan pengabdian (shi) kepada Tianshen dan kepada rengui (arwah). Liji IX:II:7 – Jiao tesheng
Handai taulan sekalian, altar Jiao adalah altar paling suci bangsa Tionghoa kuno. Sembahyang Jiao adalah sembahyang paling AGUNG bangsa Tionghoa kuno. Karena kesucian dan keagungannya, maka pada hari sembahyang Jiao, yang kematian pun tidak berani menangis apalagi berkabung. Hari sembahyang Jiao adalah hari terpanjang dalam setahun hari itu adalah tanggal lima bulan lima kalender Tionghoa.
Handai taulan sekalian, Peh Cun adalah hari SUCI bangsa Tionghoa karena pada hari itu Tianzi memimpin seluruh bangsa Tionghoa menyembah Shangdi, RAJA segala raja. Pada jaman dinasti Zhou, yang dipercaya untuk melayani Shangdi dalam sembahyang Jiao adalah menteri Ji, bukan Quyuan juga bukan Wu Zixu apalagi nenek moyang suku Yue. Siapa yang melanggar ketetapan hari suci sembahyang Jiao, dia harus MATI.
Sembahyang Jiao Tidak Dilakukan Lagi
Bila kita mempelajari tentang Raja kuno Shun, maka inilah yang dikatakan; Raja Shun ibarat bunga yang mekar (Zhonghoa) di hadapan raja. rendah hati, setia, terpelajar, cerdas, ramah, sopan, jujur. Kebajikannya sangat termashur, itu sebabnya ia di anugrahi firman (ming) untuk memangku jabatan. Shujing II:I:1 – Shundian
Lalu dibebankan pada anak kecil ini (Xiaozi), perintah firman Tuhan yang gemilang dan berkuasa (Tianming mingwei ). Tidak berani mengampuni. Memberanikan diri menggunakan seekor lembu jantan hitam, memberanikan diri mengadu kepada Shangtianshenhou (Tuhan Yang Mahatinggi Raja Roh) tentang Kejahatan dinasti Xia. Kemudian kucari Yuansheng (nabi), untuk menyatukan kekuatan bersama-sama dengan kamu, bersama-sama mengemban Firman. Shujing IV:III:4 – Tanggao
Kejahatan dinasti Shang sudah kelewatan, Tian berfirman untuk memusnahkannya. Bila aku tidak taat pada perintah Tian, maka dosaku tak terukur. Shujing V:I:9 – Taishi
Aku yang anak kecil ini, sejak pagi hingga malam, karena rasa hormat dan gentar, sesuai amanat Pangeran Wen (ayahku) melakukan pengkajian dengan berbagai cara di hadapan Shangdi (Raja segala raja) dan Zhongtu (Tuhan Yang Maharendah). Marilah kita bersama-sama melaksanakan hukuman Tian. Shujing V:I:10 – Taishi
Tian mengasihani rakyat, apa yang menjadi kehendak rakyat, Tian pasti mewujudkannya. Bantulah aku yang seorang ini untuk membersihkan keempat penjuru lautan, inilah waktu yang tepat, tidak mungkin salah. Shujing V:I:11 – Tai Shi
Bangsa Tionghoa kuno adalah bangsa yang takut akan Tuhan. Bangsa Tionghoa kuno percaya bahwa Tianzi adalah orang yang dipilih sendiri oleh Shangdi untuk mewakili-Nya mengemban firman (ming) memimpin dan mengayomi rakyat. Itu sebabnya baik pada Chunqiu Shidai (jaman musim semi dan musim gugur – 722-246 SM) dan Zhanguo Shidai (jaman perang antar negeri – 476-221), walau pun penguasa dinasti Zhou sangat lemah, namun tidak ada RAJAMUDA yang berani mengangkat dirinya menjadi Tianzi. Hal itu terjadi karena mereka TIDAK mendapat firman (ming) dari Shangdi untuk menjadi Tianzi atau raja.
Walaupun raja Qinshi, pendiri dinasti Qin (221-206 SM) sangat perkasa dan jumawa itu sebabnya dia menggelari dirinya Huangdi (raja segala raja), namun dia tidak punya NYALI untuk menyelenggarakan sembahyang Jiao guna menyembah Shangdi. Dia tidak berani melanggar kekudusan altar Jiao.
Sejak dinasty Zhou runtuh, tidak ada satu pendiri dinasti pun yang mendapat firman (Ming) untuk menjadi Tianzi. Itu sebabnya sembahyang Jiao tidak dilakukan lagi. Yang tertinggal hanya perayaannya saja yang kita kenal dalam generasi ini dengan nama Peh Cun atau Duanwu jie.
0 komentar:
Posting Komentar